Kamis, 09 Mei 2013

SEMALAM DI MELAKA (MALAYSIA)


“berjalanlah di muka bumi...maka kau akan menemukan kebijaksanaan”


Setelah lama tidak menulis, kali ini saya sangat excited buat berbagi kisah ke temen2 lagi. Masih tentang jalan-jalan. Entah kenapa, sampai saat ini passion saya travelling mulu’. Hehehe... Travelling yang terakhir saya tulis adalah tentang Singapura. Masih ada hutang buat berbagi tentang Melaka (Malaysia) dan Jepang. Luar biasa, saya diberi kesempatan oleh Allah buat berjalan di muka buminya. Luar biasa!
Ok,well...biasanya saya suka travelling ala backpacker alias irit-iritan. Karena, tujuan saya untuk pergi ke suatu tempat itu adalah belajar...belajar budayanya, belajar bagaimana hidup di daerah itu, dan belajar untuk mengerem hawa nafsu (#shopping!). haha...
Setelah saya diberi kesempatan yang ke-2 untuk mengunjungi lagi negeri singa itu...saya memutuskan buat extend yah dengan uang seadanya. Dengan partner perjalanan saya, Teteh Wida (Urang Bandung) dan Nguyen Thi Ngan Ha (Vietnamese), kami akhirnya memilih ke negeri tetangga untuk explore lebih tentang dunia ini J. Negeri itu adalah...jengjengjeng...Malaysia! Karena jaraknya yang sangat dekat dengan Singapura, ga berasa kami udah di luar negeri lagi. Hehe... Tujuan kami adalah Melaka, negeri yang memiliki populasi muslim yang mayoritas dan bangsa Melayu. Hikmahnya, kami bisa pake bahasa Indonesia lagi dengan mereka dan subhanallah...saya dapat mendengar adzan lagi. Karena seperti yang saya tulis di tulisan tentang Singapura, disana tidak diperbolehkan mengumandangkan adzan. Kali pertama sampai disana adalah ashar waktu Melaka. Oh ya, anyway...kami menggunakan bus Singapura-Malaysia (Johor Bahru) kemudian dari sana nyambung bus Johor Bahru-Melaka. Cukup murah untuk perjalanan itu. Singapura-Johor Bahru hanya sekitar Sin$ 2 atau kira-kira Rp 15.000 dan Johor Bahru-Melaka RM 20 atau sekitar Rp 60.000. Sesampainya di terminal, yang pertama kami cari adalah tourist center untuk hunting peta dan penginapan. Tapiiii...ternyata sama kayak kebanyakan kota di Indonesia, tourist center disana tidak aktif dan kita belum sempat mencetak peta. Jadilah kami benar-benar seperti orang ilang atau turis nyasar. Hehe... Kami adalah sasaran empuk buat sopir-sopir taksi menawarkan jasa mereka. Yah, apa mau dikata. Cuma berdoa aja, semoga ga kayak kebanyakan taksi di Indo yang suka nipu tarif. Alhamdulillah, sopirnya baik dan sepertinya budaya tipu tarif itu benar-benar dijaga ketat oleh mereka. Oleh Pak Cik yang baik hati itu, kami diantarkan ke hostel yang sesuai dengan keinginan kami. Murah dan ga ada tempat maksiatnya J...Hostel itu bernama, Hotel Mesra Mutiara. Walaupun dari namanya agak aneh, tapi dalemnya so good. Yang punya muslim dan fasilitasnya sangat memadai...even no TV no AC! It’s enough! J
Menjajaki bumi Malaysia ini saya kembali harus diingatkan bahwa setiap perjalanan sejatinya adalah sebuah cerita. Penggalan kisah mengenai budaya negeri tersebut yang kemudian menambah kebijaksanaan kita dalam memandang kehidupan. Wussh...wushh..kok jadi berat ya? Hehe.. Oke, baiklah...perjalanan di Melaka kita mulai.
Setelah kami check in di hostel murah meriah tersebut, tak mau kehilangan waktu kami langsung menuju tempat-tempat wisata di sekitar hostel. Kebetulan memang hostel kami berjarak sangat dekat dengan pusat pariwisata dan jantung kota Melaka tersebut. Kami berjalan menyusuri jalanan sekitar Dataran Palawan. Nama sebuah mall yang terbilang cukup besar untuk daerah yang se-“damai” Melaka (kalau tidak mau dibilang cukup sepi,hehe). Kami langsung menuju mall tersebut untuk sekedar membeli minuman dan menukarkan uang Ringgit. Alhamdulillah...sesuatu yang tak disangka sebelumnya, bahwa kami (khususnya saya dan Teh Wida) dapat menemukan sebuah mushola, bahkan terpisah antara laki-laki dan perempuan. Sungguh, sebuah karunia yang besar setelah 1 minggu lebih kami tidak dapat mendengar adzan di negeri Singa, jadi yah mending-mending nemu musholla dalam mall. Hehe.. Untuk ukuran sebuah musholla dalam mall, musholla ini sangat memadai. Bahkan di dinding-dinding luarnya terdapat poster-poster bertuliskan syahadat, gerakan sholat, bahkan nama nabi-nabi. Sejurus melihat tulisan-tulisan tersebut, teman Vietnam saya (Ha) spontan bertanya apa maksud gambar dan tulisan dalam poster-poster tersebut. Saya kemudian menjelaskan dengan bahasa dan logika orang awam mengenai ajaran Islam. Yah, semoga suatu saat ... J (diisi sendiri,hehe). Setelah pembicaraan cukup serius tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke objek peninggalan sejarah zaman penjajahan Portugis di Melaka. Tempat itu bernama A Famosa. Susunan bangunan yang menyerupai benteng ini berdiri kokoh di tengah hiruk-pikuk kota Melaka. Temboknya yang menghitam dan beberapa retak di bagian-bagiannya, menjadi penanda usia bangunan tersebut. Disambut 2 buah meriam kecil di depannya, kita dapat mengabadikan kenangan yang eksotis di bagian depan bangunan tersebut.

A Famousa


Memasuki bangunan ini jiwa kita seakan terseret ke beratus masa silam. Dimana bangunan yang kita masuki ini dulunya adalah benteng pertahanan Portugis di Selat Melaka. Terus memasuki bangunannya kita akan menemui jalan menanjak berupa anak-anak tangga. Anak-anak tangga itu menjulur mendaki menuju sebuah bangunan lain di bukit belakang benteng. Tempat ini bernama St.Paul’s Hill. Rupa bangunan ini mirip dengan gereja. Kami berkesimpulan seperti itu setelah melihat adanya sebuah patung Kristus besar di bagian atas serta beberapa pualam yang bertuliskan beberapa nama raja penampuk pemerintahan yang bersandar pada dinding-dinding bangunan. Tempatnya mirip altar yang sudah termakan usia.


St. Paul's Hill


Sebuah kebetulan mungkin, kami menemui seorang pengamen yang berdendang di bawah patung Kristus. Ditemani matahari yang semakin enggan untuk bersinar, jadilah senja itu sangat eksotis dan sampai saat ini saya masih bisa merasakan hembusan angin dan hangatnya udara senja kota itu.
Karena hari telah menjelang maghrib, kami memutuskan kembali ke penginapan. Jalan menuju penginapan pun sangat eksotis. Walaupun tidak ada bangunan yang cukup spesial, namun suasana yang terbangun senja itu sungguh luar biasa. Melewati lapangan Dataran Palawan kami sempat berhenti sejenak. Sembari duduk-duduk dan berbaring sekenanya. Tak lupa kami membeli Slurpy di 7Eleven (ini pertama kalinya saya minum Slurpy..haha,confession!). Setiba di penginapan, saya dan teh Wida langsung bersih-bersih dan mengambil air wudhu untuk sholat Maghrib. Agenda selanjutnya tentu saja cari makan malam khas Malaysia. Oh ya, buat tambahan...kota ini sudah sepi saat matahari terbenam. Sebagai turis asing, kami tidak berani untuk jalan jauh dari penginapan...walau muslim di negara ini lebih banyak dibanding Singapura. Jadilah kami menemukan rumah makan di depan penginapan. Menu yang terpilih adalah Ikan Asam Pedas. Wuiiih...mantabnyaaa tak tertahankan. Ditemani segelas besar teh tarik dan juga oseng kacang panjang+telur dadar. Feels like home, hehe. Ini nih kenampakan si Asam Pedas.


Ikan Asam Pedas+Nasi Oseng Kacang+Telur Dadar


Untuk orang Sumatera, mungkin kuliner ini tak asing lagi. Mereka biasa menyebutnya dengan asam pade. Sama-sama masakan Melayu lah yaa J
Perjalanan ke Melaka ini merupakan perjalanan yang sangat singkat. Kami hanya menikmati 1 kali matahari terbenam di negara ini. Keesokan harinya, dengan mengejar dan memanfaatkan waktu yang kami punya, kami langsung menuju objek berikutnya. Belajar budaya Melaka yang selanjutnya. Dalam perjalanan dari penginapan menuju objek berikutnya, kita dapat melihat Menara Taming Sari. Dari kejauhan mirip Tokyo Tower,hehe..Tujuan kali ini tak lain adalah icon Melaka yaitu Jam Merah. Sebuah menara penunjuk waktu dengan jam dinding di keempat sisinya. Di dekatnya, dengan warna cat yang sama dengan jam “gadang” tersebut, berdiri sebuah bangunan yang diberi nama Red Building atau Stadthuys. Bangunan ini merupakan bangunan tertua peninggalan Belanda di Asia Tenggara. Sekaligus, bangunan ini pula satu-satunya peninggalan bangsa kompeni di Melaka. Bangunan ini merupakan museum yang berisi berbagai macam dokumentasi serta benda-benda sejarah zaman penjajahan.
Satu hal yang tidak saya sangka pula, di dalam museum ini kami menemukan sebuah lembaga sosial Malaysia yang sedang menggalang dana dan simpati untuk warga Palestina. Mereka membuat pameran yang berisikan diorama mengenai pembantaian warga muslim Palestina oleh zionis Israel. Terharu. Begitu pula dengan teman non-muslim saya. Bagaimana pun, terlepas dari masalah agama, konflik kemanusiaan itu pasti akan mengusik nurani orang-orang baik di muka bumi ini. Hanya manusia yang sudah membatu hatinya yang tega melakukan pembantaian kemanusiaan tersebut. Huft...lengkap sudah perjalanan memutari bangunan ini.


Red Building


Keluar dari Stadthuys, kita akan menjumpai Gereja St. Peter yang berdampingan dengan Melaka Art Gallery. Sayangnya kami tidak sempat untuk memasuki dua bangunan ini. Namun, di halaman bangunan ini saya bertemu dan berbincang dengan seorang laki-laki tua penarik Beca wisata. Saya tidak tahu nama aslinya, jadi saya panggil dia dengan sapaan akrab Pak Cik yang berarti Paman. Satu hal yang menarik, Pak Cik ini lahir di Jakarta. Dia menceritakan Jakarta zaman dahulu kala. Di saat Jakarta belum menjadi seperti sekarang; banjir, macet, dan panas. Namun kenangannya tentang Jakarta hanya sebatas itu saja. Ia belum mempunyai kesempatan untuk berkunjung ke tanah kelahirannya lagi. Salam,Pak Cik...semoga Indonesia selalu mendapatkan posisi yang terbaik di hatimu J
Selepas mengabadikan beberapa foto, termasuk berfoto bersama Pak Cik, kami melanjutkan pelancongan ke Melaka River Cruise. Sayang budget kami, yang notabene backpacker style, tidak kuat untuk sekedar bersenang-senang menikmati sungai Melaka dari atas perahu wisata. Kami kemudian menyusuri sungai ini. Melihat kincir air raksasa peninggalan zaman sejarah, kami juga melewati museum Maritim dengan eksterior berupa Kapal Layar yang sesuai ukuran aslinya, setelah itu di pinggir sungai ini juga terletak sebuah benteng yang bernama St.John’s Fort. Kita dapat naik ke atas benteng ini, dan berfoto bersama meriam-meriamnya, sungguh sangat eksotis. Puing-puing bangunan yang sudah rusak, masih dipertahankan dan dijaga oleh pemerintah setempat. Oh ya, sebagai informasi jalan yang kita lalui dari tadi ini namanya Jalan Merdeka. Hmm...sangat melambangkan apa saja yang dapat kita jumpai sepanjang jalannya tadi kan? Hehe..
Setelah puas dengan cuci-cuci mata dan belajar zaman sejarah Melaka, saatnya kita melihat sisi lain dari Melaka ini. Seperti yang kita tahu, bahwa penduduk Melaka berasal dari keturunan Melayu serta Cina. Satu sisi lain dapat kita temui yaitu saat kita berjalan menyusuri Jonker Walk. Daerah ini adalah kampung pecinannya Melaka. Sebelum memasukinya, kita akan menemukan sebuah masjid tua di tepi sungai Melaka. Masjid ini katanya adalah yang tertua di negara ini. Sayang saat kami tiba belum masuk waktu sholat dan masjid sedang terkunci rapat. Nyesel siih...tp yaaah,baiklaah.. And so,saatnya memasuki Jonker Walk. Saat memasukinya, kita bagaikan terbawa suasana negeri Cina tempo dulu. Banyak sekali bangunan-bangunan tua dengan arsitektur Cina kuno. Kerajinan-kerajinan buah tangan juga dapat kita cari disini, namun...jika ingin yang lebih murah masih ada tempat lain. Jonker Walk ini sangat meriah. Banyak sekali lampion-lampion bahkan ada pula replika naga merah yang menggantung di langit-langit kota ini. Bagi yang hobi chinese food, tempat ini banyak menjual makanan bergaya Cina. Eeiits...tapi hati-hati ya buat yang muslim. Kebanyakan warung makan di daerah ini belum halal. Jadi kalau saya sarankan, mending cari di luar daerah ini. Cara menikmati daerah Jonker Walk ini ya dengan berjalan kaki. Menurut saya, menyusuri jalan-jalan kecilnya...melihat arsitektur rumah-rumah kunonya...mengamati kuil-kuilnya..dan melihat orang-orang berlalu lalang adalah sensasi belajar yang luar biasa. Sampai saat ini saya masih bisa merasakan aroma udara dan damainya daerah ini. Suatu kekhasan yang dapat kita temui di daerah ini adalah kendaraan bermotornya. Haha...tiap kali melihat saya jadi teringat Honda merah tahun 80’an milik Bunda di rumah. Sungguh, kota ini mungkin bukan penganut gaya hidup yang terlalu modern. Mungkin selain kota ini dicanangkan pula sebagai Heritage City oleh UNESCO, sehingga kekhasan kedaerahannya masih sangat dijaga.


Area Jonker Walk


Memasuki Jonker Walk


Di akhir-akhir ittinerary kami, kami sempatkan untuk membeli oleh-oleh. Tempat yang kami pilih adalah pasar oleh-oleh di dekat penginapan dan juga kembali ke mall Dataran Palawan. Kalau soal makanan/ cemilan tidak banyak yang berbeda dari yang kita temui di Indonesia. Disana juga ada kerupuk, gula aren, dan manisan-manisan. Pilihan oleh-oleh saya (selain cinderamata) tertuju pada Cincalok. Makanan ini terbuat dari udang yang sudah dibumbui dan dihancurkan. Jadi ini bukan cemilan yaa...buat bikin nasi goreng kata Ayahku enak..haha. Kaki rasanya udah bagai ga nepak tanah lagi. Capeknya minta ampun. Sampe hampir putus asa dengan gaya backpacker kayak gini...haha.
Yup! Time is up! Saatnya kita check out dari hostel. Karena sewanya hanya sampai jam 1 siang. Setelah dihitung-hitung, 1 kamar bertiga kami dapatkan hanya dengan Rp 70.000,00/orang atau 1 kamar seharga RM 70. Kami harus segera menuju terminal bus Melaka dan itu berarti kita harus jalan lagi untuk mencari taksi. Alhamdulillah...begitulah nikmat Allah menciptakan 2 kaki ini J. Masih di dalam taksi kami diceritakan macam-macam tentang sudut-sudut kota Melaka ini. Taksi tepat menurunkan kami di terminal bus Melaka, kemudian kami langsung mencari pemberangkatan tercepat menuju Singapura secara langsung. Gak pake transit dulu di Johor Bahru. Setiba di Singapura hari sudah menjelang tengah malam. Sensasi kembali menginjakkan kaki di negeri Singa ini akan ada di tulisan berikutnya yaa..hehe.


Untunglah kami beruntung, orang-orang yang kami temui sepanjang perjalanan semuanya baik banget! Alhamdulillah...Allah-lah yang menggenggam jiwa-jiwa kami. Serta Dia-lah yang mengizinkan ini semua terjadi. Sebagai pengalaman hidup, sebagai pembelajaran, dan sebagai bekal cerita untuk generasi mendatang...