“berjalanlah di muka bumi...maka kau
akan menemukan kebijaksanaan”
Setelah
lama tidak menulis, kali ini saya sangat excited buat berbagi kisah ke temen2
lagi. Masih tentang jalan-jalan. Entah kenapa, sampai saat ini passion saya
travelling mulu’. Hehehe... Travelling yang terakhir saya tulis adalah tentang
Singapura. Masih ada hutang buat berbagi tentang Melaka (Malaysia) dan Jepang.
Luar biasa, saya diberi kesempatan oleh Allah buat berjalan di muka buminya.
Luar biasa!
Ok,well...biasanya
saya suka travelling ala backpacker alias irit-iritan. Karena, tujuan saya
untuk pergi ke suatu tempat itu adalah belajar...belajar budayanya, belajar
bagaimana hidup di daerah itu, dan belajar untuk mengerem hawa nafsu
(#shopping!). haha...
Setelah
saya diberi kesempatan yang ke-2 untuk mengunjungi lagi negeri singa itu...saya
memutuskan buat extend yah dengan
uang seadanya. Dengan partner perjalanan saya, Teteh Wida (Urang Bandung) dan
Nguyen Thi Ngan Ha (Vietnamese), kami akhirnya memilih ke negeri tetangga untuk
explore lebih tentang dunia ini J. Negeri
itu adalah...jengjengjeng...Malaysia! Karena jaraknya yang sangat dekat dengan
Singapura, ga berasa kami udah di luar negeri lagi. Hehe... Tujuan kami adalah
Melaka, negeri yang memiliki populasi muslim yang mayoritas dan bangsa Melayu. Hikmahnya,
kami bisa pake bahasa Indonesia lagi dengan mereka dan subhanallah...saya dapat
mendengar adzan lagi. Karena seperti yang saya tulis di tulisan tentang
Singapura, disana tidak diperbolehkan mengumandangkan adzan. Kali pertama
sampai disana adalah ashar waktu Melaka. Oh ya, anyway...kami menggunakan bus
Singapura-Malaysia (Johor Bahru) kemudian dari sana nyambung bus Johor
Bahru-Melaka. Cukup murah untuk perjalanan itu. Singapura-Johor Bahru hanya
sekitar Sin$ 2 atau kira-kira Rp 15.000 dan Johor Bahru-Melaka RM 20 atau
sekitar Rp 60.000. Sesampainya di terminal, yang pertama kami cari adalah tourist center untuk hunting peta dan
penginapan. Tapiiii...ternyata sama
kayak kebanyakan kota di Indonesia, tourist center disana tidak aktif dan kita
belum sempat mencetak peta. Jadilah kami benar-benar seperti orang ilang atau
turis nyasar. Hehe... Kami adalah sasaran empuk buat sopir-sopir taksi
menawarkan jasa mereka. Yah, apa mau dikata. Cuma berdoa aja, semoga ga kayak
kebanyakan taksi di Indo yang suka nipu tarif. Alhamdulillah, sopirnya baik dan
sepertinya budaya tipu tarif itu benar-benar dijaga ketat oleh mereka. Oleh Pak
Cik yang baik hati itu, kami diantarkan ke hostel yang sesuai dengan keinginan
kami. Murah dan ga ada tempat maksiatnya J...Hostel
itu bernama, Hotel Mesra Mutiara. Walaupun dari namanya agak aneh, tapi
dalemnya so good. Yang punya muslim dan fasilitasnya sangat memadai...even no
TV no AC! It’s enough! J
Menjajaki
bumi Malaysia ini saya kembali harus diingatkan bahwa setiap perjalanan
sejatinya adalah sebuah cerita. Penggalan kisah mengenai budaya negeri tersebut
yang kemudian menambah kebijaksanaan kita dalam memandang kehidupan.
Wussh...wushh..kok jadi berat ya? Hehe.. Oke, baiklah...perjalanan di Melaka
kita mulai.
Setelah
kami check in di hostel murah meriah tersebut, tak mau kehilangan waktu kami
langsung menuju tempat-tempat wisata di sekitar hostel. Kebetulan memang hostel
kami berjarak sangat dekat dengan pusat pariwisata dan jantung kota Melaka
tersebut. Kami berjalan menyusuri jalanan sekitar Dataran Palawan. Nama sebuah
mall yang terbilang cukup besar untuk daerah yang se-“damai” Melaka (kalau
tidak mau dibilang cukup sepi,hehe). Kami langsung menuju mall tersebut untuk
sekedar membeli minuman dan menukarkan uang Ringgit. Alhamdulillah...sesuatu
yang tak disangka sebelumnya, bahwa kami (khususnya saya dan Teh Wida) dapat
menemukan sebuah mushola, bahkan terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Sungguh, sebuah karunia yang besar setelah 1 minggu lebih kami tidak dapat
mendengar adzan di negeri Singa, jadi yah mending-mending nemu musholla dalam
mall. Hehe.. Untuk ukuran sebuah musholla dalam mall, musholla ini sangat
memadai. Bahkan di dinding-dinding luarnya terdapat poster-poster bertuliskan
syahadat, gerakan sholat, bahkan nama nabi-nabi. Sejurus melihat
tulisan-tulisan tersebut, teman Vietnam saya (Ha) spontan bertanya apa maksud
gambar dan tulisan dalam poster-poster tersebut. Saya kemudian menjelaskan
dengan bahasa dan logika orang awam mengenai ajaran Islam. Yah, semoga suatu
saat ... J (diisi sendiri,hehe). Setelah
pembicaraan cukup serius tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke objek
peninggalan sejarah zaman penjajahan Portugis di Melaka. Tempat itu bernama A
Famosa. Susunan bangunan yang menyerupai benteng ini berdiri kokoh di tengah
hiruk-pikuk kota Melaka. Temboknya yang menghitam dan beberapa retak di
bagian-bagiannya, menjadi penanda usia bangunan tersebut. Disambut 2 buah
meriam kecil di depannya, kita dapat mengabadikan kenangan yang eksotis di
bagian depan bangunan tersebut.
A Famousa
Memasuki bangunan ini jiwa kita seakan
terseret ke beratus masa silam. Dimana bangunan yang kita masuki ini dulunya
adalah benteng pertahanan Portugis di Selat Melaka. Terus memasuki bangunannya
kita akan menemui jalan menanjak berupa anak-anak tangga. Anak-anak tangga itu
menjulur mendaki menuju sebuah bangunan lain di bukit belakang benteng. Tempat
ini bernama St.Paul’s Hill. Rupa bangunan ini mirip dengan gereja. Kami
berkesimpulan seperti itu setelah melihat adanya sebuah patung Kristus besar di
bagian atas serta beberapa pualam yang bertuliskan beberapa nama raja penampuk
pemerintahan yang bersandar pada dinding-dinding bangunan. Tempatnya mirip
altar yang sudah termakan usia.
St. Paul's Hill
Sebuah kebetulan
mungkin, kami menemui seorang pengamen yang berdendang di bawah patung Kristus.
Ditemani matahari yang semakin enggan untuk bersinar, jadilah senja itu sangat
eksotis dan sampai saat ini saya masih bisa merasakan hembusan angin dan
hangatnya udara senja kota itu.
Karena hari
telah menjelang maghrib, kami memutuskan kembali ke penginapan. Jalan menuju
penginapan pun sangat eksotis. Walaupun tidak ada bangunan yang cukup spesial,
namun suasana yang terbangun senja itu sungguh luar biasa. Melewati lapangan
Dataran Palawan kami sempat berhenti sejenak. Sembari duduk-duduk dan berbaring
sekenanya. Tak lupa kami membeli Slurpy di 7Eleven (ini pertama kalinya saya
minum Slurpy..haha,confession!). Setiba di penginapan, saya dan teh Wida
langsung bersih-bersih dan mengambil air wudhu untuk sholat Maghrib. Agenda selanjutnya
tentu saja cari makan malam khas Malaysia. Oh ya, buat tambahan...kota ini
sudah sepi saat matahari terbenam. Sebagai turis asing, kami tidak berani untuk
jalan jauh dari penginapan...walau muslim di negara ini lebih banyak dibanding
Singapura. Jadilah kami menemukan rumah makan di depan penginapan. Menu yang
terpilih adalah Ikan Asam Pedas. Wuiiih...mantabnyaaa tak tertahankan. Ditemani
segelas besar teh tarik dan juga oseng kacang panjang+telur dadar. Feels like home,
hehe. Ini nih kenampakan si Asam Pedas.
Ikan Asam Pedas+Nasi Oseng Kacang+Telur Dadar
Untuk orang Sumatera, mungkin kuliner
ini tak asing lagi. Mereka biasa menyebutnya dengan asam pade. Sama-sama
masakan Melayu lah yaa J
Perjalanan
ke Melaka ini merupakan perjalanan yang sangat singkat. Kami hanya menikmati 1
kali matahari terbenam di negara ini. Keesokan harinya, dengan mengejar dan
memanfaatkan waktu yang kami punya, kami langsung menuju objek berikutnya. Belajar
budaya Melaka yang selanjutnya. Dalam perjalanan dari penginapan menuju objek berikutnya, kita dapat melihat Menara Taming Sari. Dari kejauhan mirip Tokyo Tower,hehe..Tujuan kali ini tak lain adalah icon Melaka yaitu
Jam Merah. Sebuah menara penunjuk waktu dengan jam dinding di keempat sisinya.
Di dekatnya, dengan warna cat yang sama dengan jam “gadang” tersebut, berdiri sebuah
bangunan yang diberi nama Red Building atau Stadthuys. Bangunan ini merupakan
bangunan tertua peninggalan Belanda di Asia Tenggara. Sekaligus, bangunan ini
pula satu-satunya peninggalan bangsa kompeni di Melaka. Bangunan ini merupakan
museum yang berisi berbagai macam dokumentasi serta benda-benda sejarah zaman
penjajahan.
Satu hal
yang tidak saya sangka pula, di dalam museum ini kami menemukan sebuah lembaga
sosial Malaysia yang sedang menggalang dana dan simpati untuk warga Palestina.
Mereka membuat pameran yang berisikan diorama mengenai pembantaian warga muslim
Palestina oleh zionis Israel. Terharu. Begitu pula dengan teman non-muslim
saya. Bagaimana pun, terlepas dari masalah agama, konflik kemanusiaan itu pasti
akan mengusik nurani orang-orang baik di muka bumi ini. Hanya manusia yang
sudah membatu hatinya yang tega melakukan pembantaian kemanusiaan tersebut. Huft...lengkap
sudah perjalanan memutari bangunan ini.
Red Building
Keluar dari
Stadthuys, kita akan menjumpai Gereja St. Peter yang berdampingan dengan Melaka
Art Gallery. Sayangnya kami tidak sempat untuk memasuki dua bangunan ini.
Namun, di halaman bangunan ini saya bertemu dan berbincang dengan seorang
laki-laki tua penarik Beca wisata. Saya tidak tahu nama aslinya, jadi saya
panggil dia dengan sapaan akrab Pak Cik yang berarti Paman. Satu hal yang
menarik, Pak Cik ini lahir di Jakarta. Dia menceritakan Jakarta zaman dahulu
kala. Di saat Jakarta belum menjadi seperti sekarang; banjir, macet, dan panas.
Namun kenangannya tentang Jakarta hanya sebatas itu saja. Ia belum mempunyai
kesempatan untuk berkunjung ke tanah kelahirannya lagi. Salam,Pak Cik...semoga
Indonesia selalu mendapatkan posisi yang terbaik di hatimu J
Selepas
mengabadikan beberapa foto, termasuk berfoto bersama Pak Cik, kami melanjutkan
pelancongan ke Melaka River Cruise. Sayang budget kami, yang notabene
backpacker style, tidak kuat untuk sekedar bersenang-senang menikmati sungai
Melaka dari atas perahu wisata. Kami kemudian menyusuri sungai ini. Melihat
kincir air raksasa peninggalan zaman sejarah, kami juga melewati museum Maritim
dengan eksterior berupa Kapal Layar yang sesuai ukuran aslinya, setelah itu di
pinggir sungai ini juga terletak sebuah benteng yang bernama St.John’s Fort.
Kita dapat naik ke atas benteng ini, dan berfoto bersama meriam-meriamnya,
sungguh sangat eksotis. Puing-puing bangunan yang sudah rusak, masih
dipertahankan dan dijaga oleh pemerintah setempat. Oh ya, sebagai informasi
jalan yang kita lalui dari tadi ini namanya Jalan Merdeka. Hmm...sangat
melambangkan apa saja yang dapat kita jumpai sepanjang jalannya tadi kan? Hehe..
Setelah puas
dengan cuci-cuci mata dan belajar zaman sejarah Melaka, saatnya kita melihat
sisi lain dari Melaka ini. Seperti yang kita tahu, bahwa penduduk Melaka berasal
dari keturunan Melayu serta Cina. Satu sisi lain dapat kita temui yaitu saat
kita berjalan menyusuri Jonker Walk. Daerah ini adalah kampung pecinannya
Melaka. Sebelum memasukinya, kita akan menemukan sebuah masjid tua di tepi
sungai Melaka. Masjid ini katanya adalah yang tertua di negara ini. Sayang saat
kami tiba belum masuk waktu sholat dan masjid sedang terkunci rapat. Nyesel
siih...tp yaaah,baiklaah.. And so,saatnya memasuki Jonker Walk. Saat
memasukinya, kita bagaikan terbawa suasana negeri Cina tempo dulu. Banyak
sekali bangunan-bangunan tua dengan arsitektur Cina kuno. Kerajinan-kerajinan
buah tangan juga dapat kita cari disini, namun...jika ingin yang lebih murah
masih ada tempat lain. Jonker Walk ini sangat meriah. Banyak sekali
lampion-lampion bahkan ada pula replika naga merah yang menggantung di
langit-langit kota ini. Bagi yang hobi chinese food, tempat ini banyak menjual
makanan bergaya Cina. Eeiits...tapi hati-hati ya buat yang muslim. Kebanyakan
warung makan di daerah ini belum halal. Jadi kalau saya sarankan, mending cari
di luar daerah ini. Cara menikmati daerah Jonker Walk ini ya dengan berjalan
kaki. Menurut saya, menyusuri jalan-jalan kecilnya...melihat arsitektur
rumah-rumah kunonya...mengamati kuil-kuilnya..dan melihat orang-orang berlalu
lalang adalah sensasi belajar yang luar biasa. Sampai saat ini saya masih bisa
merasakan aroma udara dan damainya daerah ini. Suatu kekhasan yang dapat kita
temui di daerah ini adalah kendaraan bermotornya. Haha...tiap kali melihat saya
jadi teringat Honda merah tahun 80’an milik Bunda di rumah. Sungguh, kota ini
mungkin bukan penganut gaya hidup yang terlalu modern. Mungkin selain kota ini dicanangkan pula sebagai
Heritage City oleh UNESCO, sehingga kekhasan kedaerahannya masih sangat dijaga.
Area Jonker Walk
Memasuki Jonker Walk
Di akhir-akhir
ittinerary kami, kami sempatkan untuk membeli oleh-oleh. Tempat yang kami pilih
adalah pasar oleh-oleh di dekat penginapan dan juga kembali ke mall Dataran
Palawan. Kalau soal makanan/ cemilan tidak banyak yang berbeda dari yang kita
temui di Indonesia. Disana juga ada kerupuk, gula aren, dan manisan-manisan.
Pilihan oleh-oleh saya (selain cinderamata) tertuju pada Cincalok. Makanan ini
terbuat dari udang yang sudah dibumbui dan dihancurkan. Jadi ini bukan cemilan
yaa...buat bikin nasi goreng kata Ayahku enak..haha. Kaki rasanya udah bagai ga
nepak tanah lagi. Capeknya minta ampun. Sampe hampir putus asa dengan gaya
backpacker kayak gini...haha.
Yup! Time
is up! Saatnya kita check out dari hostel. Karena sewanya hanya sampai jam 1
siang. Setelah dihitung-hitung, 1 kamar bertiga kami dapatkan hanya dengan Rp
70.000,00/orang atau 1 kamar seharga RM 70. Kami harus segera menuju terminal
bus Melaka dan itu berarti kita harus jalan lagi untuk mencari taksi.
Alhamdulillah...begitulah nikmat Allah menciptakan 2 kaki ini J. Masih di dalam taksi kami
diceritakan macam-macam tentang sudut-sudut kota Melaka ini. Taksi tepat
menurunkan kami di terminal bus Melaka, kemudian kami langsung mencari
pemberangkatan tercepat menuju Singapura secara langsung. Gak pake transit dulu
di Johor Bahru. Setiba di Singapura hari sudah menjelang tengah malam. Sensasi
kembali menginjakkan kaki di negeri Singa ini akan ada di tulisan berikutnya
yaa..hehe.
Untunglah kami beruntung, orang-orang
yang kami temui sepanjang perjalanan semuanya baik banget!
Alhamdulillah...Allah-lah yang menggenggam jiwa-jiwa kami. Serta Dia-lah yang
mengizinkan ini semua terjadi. Sebagai pengalaman hidup, sebagai pembelajaran,
dan sebagai bekal cerita untuk generasi mendatang...