Pembangunan nasional
sebuah kata yang acap kali didengung-dengungkan pada euphoria pemilihan
presiden atau pemilihan kepala daerah dan tidak ketinggalan pemilihan para
wakil rakyat. Hampir semua menjadikan pembangunan nasional ini sebuah senjata
ampuh dalam setiap penyampaian daya tawar mereka. Pembangunan nasional
seringkali dijanjikan mengalami peningkatan. Namun sayangnya, banyak dari
indikator peningkatan itu diukur dari adanya pembangunan-pembangunan fisik. Padahal
sejatinya, pembangunan nasional tersebut bertujuan menumbuhkan growth-equity-sustainability (Maksum,
1997).
Menilik dari tujuan
tersebut, perlulah kita berkaca pada kondisi bangsa kita sekarang. Apa saja
yang dapat kita sebutkan hal-hal capaian dari 3 kata tersebut-pertumbuhan,
keadilan, keberlanjutan? Pertumbuhan, keadilan, dan keberlanjutan seharusnya
bersinergi kamudian membentuk sebuah kondisi yang madanin atau sejahtera. Namun
sayangnya, ketiga hal tersebut sekaranglah yang dilanggar oleh negara
(pemerintah) terhadap rakyatnya. Pembangunan nasional pada umumnya berujung
pada kemandririan nasional. Coba kita tilik bangsa tetangga yang lebih maju.
Pembangunan nasional yang mereka lakukan terarah dan konsisten, sehingga
menciptakan kondisi baru dimana bangsa tersebut mandiri. Dengan tidak menafikan
hubungan saling ketergantungan antar bangsa, negara-negara yang sudah maju
tersebut mampu untuk melindungi bangsanya dari ketergantungan berlebih kepada
bangsa lain.
Lalu coba kita tilik
bangsa kita, Indonesia. Pembangunan yang dilakukan bangsa ini memang kentara
(khususnya pada pembangunan fisik dalam artian sarana dan prasarana negara),
namun darimanakah proses pembangunan itu berasal? Serta bagaimanakah dengan
pembangunan kepada hal-hal yang tidak terlihat (intangible) seperti contohnya pada kualitas (kehandalan dan
keahlian) SDM serta kualitas kesejahteraan kaum marjinal. Namun, pembangunan
nasional yang sedang berjalan sekarang ini seperti kehilangan ruh-nya, karena
memang tidak berjalan sesuai dengan pola yang seharusnya ada. Jika memang
pemerintah yakin dengan sektor pembangunan riil yang dilakukan sekarang, dengan
mengandalkan industri manufaktur, maka seharusnya bangsa ini sudah sejahtera.
Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Bangsa kita bagai buruh di negeri
sendiri. Atau paling tidak, jika memang benar pembangunan sektor industri
(non-pertanian) menjadi andalan pembangunan nasional maka pemerintah seharusnya
juga serius mempersiapkan SDM dan yang paling penting mengenai proteksi bahan
baku. Industri manufaktur kita dapat berjalan jika memang orientasi pemangku
kebijakan arah pembangunan bangsa ini juga fokus pada hal itu, seperti
mementingkan pasokan bahan baku migas atau pertambangan untuk industri domestik
kita. Memang, iklim pembangunan yang ditumbuhkan oleh orientasi pada industri
manufaktur dipenuhi oleh investasi padat modal. Dari hal ini saja, kondisi
negara kita sudah tidak match. Karena
kondisi bangsa ini lebih cocok jika disandingkan dengan industri berbasis padat
karya. Agroindustri adalah jawabannya. Hasil bumi yang luar biasa dari bangsa
ini dapat kita pabrikasi menjadi barang-barang dagangan dengan nilai tambah
berkali lipat jika orientasi pembangunan pada komoditas pertanian memang
menjadi prioritas.
Kebijakan-kebijakan
terkait sektor agroindustri ini malah berdampak buruk bagi petani dan rakyat
Indonesia, alih-alih mensejahterakan mereka. Orientasi bangsa ini belum
berpihak pada sektor ini, walau sudah banyak pihak percaya akan kehandalan
sektor agro pada masa-masa krisis. Importasi dan proteksi rupiah berlebih
sungguh sudah mengantarkan bangsa kita pada masa-masa kritis hidupnya.
Ketergantungan sudah dipola oleh pemerintah kita dari pertanian hulu hingga
hilir. Sebagai contoh, petani kita sekarang sangat bergantung pada benih-benih
impor yang tentunya juga membutuhkan suplemen/ anti hama impor pula. Walau pada
kenyataannya sebenarnya petani kita adalah petani-petani pintar yang dapat
mengembangkan benih-benih unggulan. Namun, dengan masuknya benih-benih impor
tersebut, atas restu pemerintah, maka petani kita menjadi terkungkung daya
kreativitasnya yang berujung pada kematian ambisi wirausahanya. Sebuah kondisi
yang sangat mengerikan. Bukan hanya kerugian psikologis bangsa ini, namun juga
kerugian ekologis. Masuknya pupuk-pupuk kimia untuk meningkatkan produktivitas
lahan sungguh sudah sangat merusak kondisi alam bangsa ini. Produktivitas sawah
memang mengalami tren penaikan setelah adanya penggunaan pupuk dan benih impor
tersebut. Namun dampak lingkungannya sudah sangat memprihatinkan. Makan beras
seperti makan bahan kimia, belum lagi air untuk kita minum juga sudah sangat
turun kualitasnya karena adanya polusi atas usaha pertanian tersebut. Lalu
mengapa tidak dengan benih lokal? Karena sudah terlanjur kondisi tanah kita
dijejali dengan bahan-bahan kimia hasil kreasi negara-negara tetangga sehingga
mau tidak mau kita harus bergantung pada produk mereka.
Menurut saya,
kebangkitan pembangunan nasional kita untuk melepaskan diri dari ketergantungan
kepada bangsa lain adalah dengan peningkatan upaya kewirausahaan. Bukan hanya
melulu menunggu kebijakan pemerintah yang berubah menjadi pro pada potensi
sendiri (agro). Energi kita sudah lama terpakai untuk menunggu reorientasi
pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang pro kepada petani. Alangkah lebih
baiknya jika kita memulai (walau dengan langkah-langkah kecil dan kadang
terseok) untuk mewirausahakan potensi yang kita miliki. Karena sejatinya ini
bukan melulu soal investasi pada teknologi yang sophisticated, namun pada cara pandang bangsa kita terhadap peningkatan
nilai tambah. Kemudian yang perlu dilakukan pemerintah hanya mendukung
tumbuhnya usaha-usaha baru di bidang pertanian (tanpa aturan yang terlalu
belibet) serta perlindungan hasil bumi kita terhadap isapan bangsa luar. Saya
rasa partisipasi rakyat dengan sistem bottom-up
ini merupakan hal yang harus kita kejar demi kemandirian bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar