Kamis, 20 September 2012

Analisis Penyebab Antara Meningkatnya Pembangunan Nasional Kontra Menurunnya Kemandirian Nasional


Pembangunan nasional sebuah kata yang acap kali didengung-dengungkan pada euphoria pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah dan tidak ketinggalan pemilihan para wakil rakyat. Hampir semua menjadikan pembangunan nasional ini sebuah senjata ampuh dalam setiap penyampaian daya tawar mereka. Pembangunan nasional seringkali dijanjikan mengalami peningkatan. Namun sayangnya, banyak dari indikator peningkatan itu diukur dari adanya pembangunan-pembangunan fisik. Padahal sejatinya, pembangunan nasional tersebut bertujuan menumbuhkan growth-equity-sustainability (Maksum, 1997).
Menilik dari tujuan tersebut, perlulah kita berkaca pada kondisi bangsa kita sekarang. Apa saja yang dapat kita sebutkan hal-hal capaian dari 3 kata tersebut-pertumbuhan, keadilan, keberlanjutan? Pertumbuhan, keadilan, dan keberlanjutan seharusnya bersinergi kamudian membentuk sebuah kondisi yang madanin atau sejahtera. Namun sayangnya, ketiga hal tersebut sekaranglah yang dilanggar oleh negara (pemerintah) terhadap rakyatnya. Pembangunan nasional pada umumnya berujung pada kemandririan nasional. Coba kita tilik bangsa tetangga yang lebih maju. Pembangunan nasional yang mereka lakukan terarah dan konsisten, sehingga menciptakan kondisi baru dimana bangsa tersebut mandiri. Dengan tidak menafikan hubungan saling ketergantungan antar bangsa, negara-negara yang sudah maju tersebut mampu untuk melindungi bangsanya dari ketergantungan berlebih kepada bangsa lain.
Lalu coba kita tilik bangsa kita, Indonesia. Pembangunan yang dilakukan bangsa ini memang kentara (khususnya pada pembangunan fisik dalam artian sarana dan prasarana negara), namun darimanakah proses pembangunan itu berasal? Serta bagaimanakah dengan pembangunan kepada hal-hal yang tidak terlihat (intangible) seperti contohnya pada kualitas (kehandalan dan keahlian) SDM serta kualitas kesejahteraan kaum marjinal. Namun, pembangunan nasional yang sedang berjalan sekarang ini seperti kehilangan ruh-nya, karena memang tidak berjalan sesuai dengan pola yang seharusnya ada. Jika memang pemerintah yakin dengan sektor pembangunan riil yang dilakukan sekarang, dengan mengandalkan industri manufaktur, maka seharusnya bangsa ini sudah sejahtera. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Bangsa kita bagai buruh di negeri sendiri. Atau paling tidak, jika memang benar pembangunan sektor industri (non-pertanian) menjadi andalan pembangunan nasional maka pemerintah seharusnya juga serius mempersiapkan SDM dan yang paling penting mengenai proteksi bahan baku. Industri manufaktur kita dapat berjalan jika memang orientasi pemangku kebijakan arah pembangunan bangsa ini juga fokus pada hal itu, seperti mementingkan pasokan bahan baku migas atau pertambangan untuk industri domestik kita. Memang, iklim pembangunan yang ditumbuhkan oleh orientasi pada industri manufaktur dipenuhi oleh investasi padat modal. Dari hal ini saja, kondisi negara kita sudah tidak match. Karena kondisi bangsa ini lebih cocok jika disandingkan dengan industri berbasis padat karya. Agroindustri adalah jawabannya. Hasil bumi yang luar biasa dari bangsa ini dapat kita pabrikasi menjadi barang-barang dagangan dengan nilai tambah berkali lipat jika orientasi pembangunan pada komoditas pertanian memang menjadi prioritas.
Kebijakan-kebijakan terkait sektor agroindustri ini malah berdampak buruk bagi petani dan rakyat Indonesia, alih-alih mensejahterakan mereka. Orientasi bangsa ini belum berpihak pada sektor ini, walau sudah banyak pihak percaya akan kehandalan sektor agro pada masa-masa krisis. Importasi dan proteksi rupiah berlebih sungguh sudah mengantarkan bangsa kita pada masa-masa kritis hidupnya. Ketergantungan sudah dipola oleh pemerintah kita dari pertanian hulu hingga hilir. Sebagai contoh, petani kita sekarang sangat bergantung pada benih-benih impor yang tentunya juga membutuhkan suplemen/ anti hama impor pula. Walau pada kenyataannya sebenarnya petani kita adalah petani-petani pintar yang dapat mengembangkan benih-benih unggulan. Namun, dengan masuknya benih-benih impor tersebut, atas restu pemerintah, maka petani kita menjadi terkungkung daya kreativitasnya yang berujung pada kematian ambisi wirausahanya. Sebuah kondisi yang sangat mengerikan. Bukan hanya kerugian psikologis bangsa ini, namun juga kerugian ekologis. Masuknya pupuk-pupuk kimia untuk meningkatkan produktivitas lahan sungguh sudah sangat merusak kondisi alam bangsa ini. Produktivitas sawah memang mengalami tren penaikan setelah adanya penggunaan pupuk dan benih impor tersebut. Namun dampak lingkungannya sudah sangat memprihatinkan. Makan beras seperti makan bahan kimia, belum lagi air untuk kita minum juga sudah sangat turun kualitasnya karena adanya polusi atas usaha pertanian tersebut. Lalu mengapa tidak dengan benih lokal? Karena sudah terlanjur kondisi tanah kita dijejali dengan bahan-bahan kimia hasil kreasi negara-negara tetangga sehingga mau tidak mau kita harus bergantung pada produk mereka.
Menurut saya, kebangkitan pembangunan nasional kita untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada bangsa lain adalah dengan peningkatan upaya kewirausahaan. Bukan hanya melulu menunggu kebijakan pemerintah yang berubah menjadi pro pada potensi sendiri (agro). Energi kita sudah lama terpakai untuk menunggu reorientasi pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang pro kepada petani. Alangkah lebih baiknya jika kita memulai (walau dengan langkah-langkah kecil dan kadang terseok) untuk mewirausahakan potensi yang kita miliki. Karena sejatinya ini bukan melulu soal investasi pada teknologi yang sophisticated, namun pada cara pandang bangsa kita terhadap peningkatan nilai tambah. Kemudian yang perlu dilakukan pemerintah hanya mendukung tumbuhnya usaha-usaha baru di bidang pertanian (tanpa aturan yang terlalu belibet) serta perlindungan hasil bumi kita terhadap isapan bangsa luar. Saya rasa partisipasi rakyat dengan sistem bottom-up ini merupakan hal yang harus kita kejar demi kemandirian bangsa kita.

Minggu, 16 September 2012

Kisah Beasiswa BU : Dari Ridho Orangtua Hingga Inspirasi untuk Bangsa


KISAH BU : DARI RIDHO ORANG TUA HINGGA INSPIRASI UNTUK BANGSA
 
Berbicara tentang memburu beasiswa, saya yakin semua pemburu punya cerita masing-masing. Dari cerita yang aneh-aneh, nekat, kejadian lucu-lucu, sampai yang bener-bener menyedihkan...ditolak, dibentak-bentak, sampai mungkin dicuekin. Hehe... Tapi dibalik kisah-kisah itu, pasti ada hal yang menginspirasi orang lain yang diceritakannya. Minimal orang lain itu akan penasaran, “apa iya sih mencari beasiswa itu “sebegitunya”?”. Kali ini saya akan menceritakan kisah dan perjuangan saya menerima Beasiswa Unggulan dari DIKTI. Semoga bisa meninspirasi teman-teman semua ^_^
Well, kata-kata “beasiswa” mungkin sudah melekat di benak pikiran kita semenjak kita melangkahkan kaki di bangku sekolah. Ada teman yang dapet beasiswa inilah, beasiswa itulah, di sekolah ini, negara itu, besarnya segini, dapet ini itu, huaaah...dan banyak lagi. Sebenarnya apa sih yang memotivasi seseorang buat dapet beasiswa? Ya tentunya, sekolah gratis dan tidak lupa bahwa beasiswa juga berarti PRESTASI! Sebagian besar orang pasti berpikiran seperti itu, di samping tujuan-tujuan yang lain. Sebenarnya, singkat cerita semenjak duduk di bangku sekolah dari SD sampe S1, saya belum pernah mendapat beasiswa. Karena selama selang waktu sekolah itu, belum ada inspirasi yang masuk ke saya untuk “memburu” beasiswa. Namun, sejak saya memutuskan untuk lanjut kuliah lagi setelah lulus pendidikan tingkat sarjana (S1) saya menjadi berpikir. Hmm..kuliah S2? Apa yang pertama terlintas di benak teman-teman? I guess, kita semua pasti berpikir...”Mahal ya? Darimana biayanya?”. Berat rasanya membayangkan uang sebanyak itu untuk saya yang terlahir di keluarga yang menengah (bener-bener di tengah,hehe) yang mungkin bener kata orang “pas-pas’an”. Alhamdulillah pas buat makan, pas buat beli baju, pas buat beli bensin...hehehe. Maka dari itu, sejak saya udah mulai penelitian skripsi, saya sudah langganan milist (mailing list) ataupun fan page beasiswa di facebook maupun twitter. Saat itu, saya selalu terobsesi dengan yang namanya kuliah di luar negeri. Setiap email atau informasi yang masuk membuat saya tambah puyeng lagi, ada skor TOEFL-lah, sertifikat bahasa ini itu, research proposal, sampai ada yang mensyaratkan letter of recommendation dari profesor dari universitas tujuan. Rasanya kayak hampir menyerah. Tapi ga juga sih,lebaiiy..hehe.
Setelah, alhamdulillah, saya berhasil diwisuda bersama teman-teman seperjuangan saya langsung memutuskan untuk fokus pada pencarian beasiswa. Walaupun sempat tergiur juga dengan mencari pekerjaan dan berwirausaha. Biasalah, perasaan seperti yang dialami oleh sebagian besar fresh graduate yaitu GALAU. Hehe... Alhamdulillah, orang tua juga meridhoi saya untuk mencari beasiswa daripada mencari kerja. Lalu perjalanan dimulai dengan menyasar beasiswa terkenal untuk sekolah di Eropa, Erasmus Mundus (EM). Kali itu, supervisor saya menyarankan untuk mencoba melamar beasiswa EM. Namun yang menjadi kendala kala itu yaitu bahasa. TOEFL harus di atas 575 dan harus menguasai salah 1 bahasa ibu-nya orang Eropa (antara Jerman, Perancis, Itali, dan lain-lain). Melihat syarat pertama, saya langsung memeras otak bagaimana caranya mencapai itu semua. Akhirnya saya ikut kursus bahasa inggris intensif di PPB UGM. Alhamdulillah hasilnya sangat memuaskan menurut saya, walaupun masih belum mencapai syarat tersebut. Tapi saya tidak menyerah. Saya berniat untuk nekat memasukan aplikasi ke EM. Namun kemudian, di tengah-tengah perjuangan yang berdarah-darah itu (haha...lebaiy) ada pengumuman untuk penerimaan beasiswa dari pemerintah Turki (Lisansusthu Scholarship) dan Beasiswa Unggulan dari DIKTI. “Wah, kesempatan baru nih!” batin saya saat itu. Kalau saya itung-itung, tidak ada salahnya nih ikutan. Saya sudah meminta kepada Allah untuk ditempatkan dimanapun yang terbaik menurut-Nya.
Fase baru dalam perburuan, saya melamar beasiswa Turki. Awalnya memang kurang bersemangat karena belum begitu mengetahui kualitas universitas-universitas disana serta kondisi negaranya (yang kata orang sekuler). Serta daya dukung orang tua kala itu kurang besar karena memang sama-sama tidak tahu kondisi Turki seperti apa. Namun, setelah mencari bersama google, akhirnya saya memantapkan hati dan meyakinkan kedua orang tua untuk melamar beasiswa tersebut. Aplikasi saya lengkapi di detik-detik terakhir. Dari mencari rekomendasi dosen-dosen andalan saya, rekomendasi dari dekan, menerjemahkan ijazah dan transkrip nilai ke dalam bahasa Inggris, tes TOEFL, membuat essay, dan lain-lain. Akhirnya tepat pada pukul 00.00 kurang sedikit sebelum tenggat waktu yang diberikan, saya berhasil meng-upload semua berkas yang dipersyaratkan. Jika Allah pernah berfirman, "Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. Ath-Thalaq: 3). Dari situ, saya benar-benar memasrahkan segala usaha yang telah saya lakukan tersebut kepada Allah.
Ok, 1 usaha telah dilakukan. Maka beranjak pada usaha selanjutnya, yaitu memburu beasiswa BU dari DIKTI. Sebenarnya, prioritas untuk bersekolah S2 di Indonesia adalah pilihan yang ke-2 jika lamaran di luar negeri tidak ada yang lolos. Hehe... Buku pedoman BU sebenarnya sudah saya download dari jauh-jauh hari. Namun, file tersebut masih tersimpan dengan indahnya di folder dalam laptop saya. Sampai 1 hari yang benar-benar mengubah arah hati saya. Kala itu, saya ke kampus (bukaan, bukan nongkrong-nongkrong ga jelas di kantin kok..hehe). Biasa, mengecek pengumuman di papan kampus. Ada pengumuman lowongan kerja, pengumuman beasiswa macem-macem, sampai pengumuman nilai-nilai kuliah. Hehe... Tiba fokus saya pada pengumuman beasiswa BU untuk universitas-universitas di Indonesia. Saya cermati tanggalnya, dan jeng...jeng...jeng...deadline-nya tinggal 10 hari (minus 2 hari libur) dari hari tersebut. Saya langsung menanyakan perihal beberapa hal kepada seksi akademik pascasarjana di fakultas saya. Setelah memahami beberapa hal itu saya mengkonfirmasi kembali dengan membaca lagi e-book panduan pengajuan BU. Setelah check-list ini itu, saya kemudian tertuju pada poin perjanjian kerjasama dengan DIKTI untuk bersedia ditempatkan dimanapun di seluruh Indonesia dimana DIKTI membutuhkan. Agak dag-dig-dug-der sih membaca syarat tersebut. Untuk menanggulangi kegalauan saya, saya lalu berkonsultasi dengan dosen andalan yang selalu saya repotin ini itu. Saya menceritakan semua seluk-beluk mengenai beasiswa yang akan saya lamar ini. Kemudian tiba pada tujuan utama saya yaitu meminta rekomendasi beliau untuk saya dapat “nyantol” di salah satu universitas di Jawa. Kemudian, dengan baik hati beliau memberikan beberapa pilihan universitas. Ada 2 pilihan yang saya ambil.
Esoknya saya sudah menemui pihak yang terkait dengan 2 pilihan universitas yang saya ambil terebut. 1 orang dosen dari jurusan saya dan 1 orang rektor yang kebetulan juga menjadi tenaga pengajar senior di fakultas. Setelah berkonsultasi dengan 2 dosen tersebut secara empat mata, maka Allah menentukan bahwa jalan saya bukan disana. Alasan yang sama, jurusan S1 saya belum memenuhi kompetensi pada jurusan yang ada pada 2 universitas tersebut yang akan saya lamar. Malah salah seorang dari dosen tersebut berkata,
“Di sini gaji dosennya masih kecil lho,dek...apa gak papa tuh?”
(bahkan saya belum berpikir tentang gaji yang akan saya terima...hehe)
Tapi nothing to lose lah, yang saya syukuri adalah saya dapat berbincang dengan 2 orang hebat pada 2 hari itu. Tidak semua mahasiswa mempunyai kesempatan seperti itu, kecuali dalam rangka bimbingan skripsi lho yaa J. Setelah itu saya melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada dosen supervisor saya. Hari itu juga, saya melengkapi segala berkas yang belum terselesaikan karena kegalauan “penempatan dimanapun” itu. Sudah H-2 dari deadline pengumpulan semua berkas ke direktorat akademik. Tidak terbayang dulu 2 hari yang cukup membuat ngos-ngosan mirip orang habis lari marathon itu J. Untungnya saya mempunyai partner pelamar BU juga yang 1 frekuensi, jadi kami dapat saling memberi informasi terkini terkait beasiswa tersebut dan simpang siur info yang ada. Udah mirip kayak detik.com,hehe...
            Alhamdulillah, atas izin Allah, semua berkas dapat saya selesaikan sampai tuntas pada tanggal yang ditentukan. Tinggal menunggu untuk tes ujian masuk dan dinyatakan resmi untuk menjadi mahasiswa pasca-sarjana UGM. Waktu yang cukup mendebarkan namun penuh optimisme. Mungkin sampai pada tahap akhir ini, yang ingin saya sampaikan ke teman-teman adalah mengenai ridho orang tua. Ceritanya saya selalu minta doa (entah via sms atau telepon) kepada orang tua pada setiap tahap pelamaran. Mulai dari memenuhi semua syarat pemberkasan, ketemu dosen dan birokrasi terkait, mengisi formulir online, dan tentu saja saat ujian masuk pascasarjana UGM. Karena saya percaya, kuatnya doa orangtua ibarat 100 kali lipat usaha yang telah kita lakukan.

"Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang yang dizholimi, doa orang yang bepergian (safar) dan doa baik orang tua pada anaknya." (HR. Ibnu Majah).

            Beberapa waktu kemudian hasil ujian masuk (UM) UGM sudah diumumkan. Atas ridho Allah, saya lolos UM tersebut dan diterima sebagai mahasiswa pascasarjana UGM. Sekarang tinggal dag-dig-dug-der menunggu hasil pengumuman dari BU. Karena daftar ulang mahasiswa baru waktunya cukup dekat dari pengumuman UM tersebut, maka saya sangat menggantungkan nasib pada BU. Saat itu memang ada teman-teman yang sudah membayar untuk heregistrasi, namun saya lebih memilih untuk menunggu betul hasil BU tersebut..alasan utamanya ya karena tidak ada biaya bahkan untuk membayar uang 1 semesternya pun.
            Dan pada suatu sore, handphone saya berbunyi. Hmm...dari teman waktu S1 saya dulu (yang juga penerima BU tahun 2011). Kemudian saya angkat telpon tersebut,
“Udah buka internet belom,Tis?” kata dia
“Hm...udah sih tadi, tapi cuma ngecek email sama facebook aja...hehe” kata saya sekenanya
“Payah! Kamu lolos BU tauuuk...!!”
Hening sejenak...
Kemudian saya langsung berteriak, “Allahu akbar!!!! Alhamdulillah...subhanallaaah”
(pokoknya nyebut semua deh,.)
“Beneran??? Ga bercanda kan??”
Rasanya udah mau nangis (tapi kepalang malu karena lagi banyak orang,hehe) dan kemudian saya sujud syukur, rasanya jantung udah melorot sampe ujung mata kaki. Kaki sudah tidak kuat, pengin buru-buru bersujud di hadapan-Nya. Saya masih tidak percaya, doa orangtua dan tentu saja doa saya terkabul. Belum selesai, pada saat itu juga saya langsung packing untuk pulang ke Solo (dari Jogja) sudah tidak sabar untuk memberi kejutan kepada kedua orang tua. Sepanjang jalan saya berpikir, kebaikan apa yang pernah saya lakukan sehingga Allah memberikan nikmat yang begitu besar seperti ini kepada saya?
Sesampainya di rumah setelah makan malam, saya memberitahukan kepada kedua orang tua,
“Mama...papa...insya Allah saya masih 2 tahun lagi di Jogja. Mohon doanya yaa..”
Orang tua saya masih bingung, lalu kemudian...
“Hah...kamu lolos BU,nduk??” kata Mama saya setengah tercekat
Saya hanya bisa mengangguk, udah pengin nangis rasanya.
Secara bersama kedua orang tua saya memeluk saya sambil tak hentinya mengucap syukur kepada sang khaliq, Allah SWT
“Alhamdulillah...Ya Allah”
Pada akhir hari itu, tengah malamnya saya mendengar lagi ibu dan bapak saya berbincang. Dan 1 kalimat yang masih saya ingat sampai detik ini (bahkan mungkin tidak akan pernah terlupa).
“Alhamdulillah,Pa...Mama seneng banget Titis mendapat beasiswa itu. Lega banget rasanya. Mulai sekarang kita perbanyak lagi sedekahnya ya”.


Ya Allah, Engkau telah menampakkan kembali kebesaran-Mu. Sayangilah kami dengan kemampuan kami menjaga amanah yang Engkau berikan ini, Ya Allah. Semoga bermanfaat untuk bangsa, negara, dan diri kami. Semoga Engkau mudahkan pula jalan teman-temanku pemburu beasiswa yang lain. Amiin,,,